FBR telah beroperasi di Jakarta selama satu dekade. Organisasi kesukuan ini dibentuk sebagai tanggapan atas keprihatinan para tetua Betawi tentang kondisi kehidupan mereka di Jakarta. Karena masyarakat Betawi semakin terpinggirkan dan terhimpit oleh kehidupan kota. Mereka berharap tidak diremehkan di ibu kota yang semakin bersolek seiring kemajuan modernisasi.
Pada tanggal 29 Juli 2001, pada tanggal 8 Rabiul Tsani 1422 Hijriyah, FBR didirikan. FBR didirikan atas bantuan beberapa tokoh muda Betawi di Pondok Pesantren Zidatul Mubtadi'ien Yatim Cakung, Jakarta Timur. Janji mendirikan FBR dibacakan di Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi'ien di Jalan Raya Pgilan No. 100 Pedaengan, Cakung, Jakarta Timur. Fadloli, putra almarhum Kyai MKyai Muhir dan Hj. Maanih, lahir di wilayah itu. Kata Betawi "Rempug" di akhir nama FBR memiliki arti kata paduan yang kompak. Sejak itu, jumlah anggota baru terus meningkat.
Mereka kemudian mendirikan gardu induk untuk menjadi perwakilan di berbagai wilayah Jabodetabek. Sebuah gardu mempekerjakan seratus orang. Untuk menghimpun dana dari anggota, mereka juga menggunakan sistem urunan biaya anggota. Hingga saat ini tercatat jumlah gardu induk tersebut berjumlah ratusan, dengan anggota lebih dari 600 ribu orang. Sebagai organisasi Betawi, FBR tidak sendiri. Contohnya antara lain ada Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi), Forum Persatuan Betawi (FBB), Ikatan Keluarga Betawi (Ikabe), Persatuan Masyarakat Betawi (PMB), dan Persatuan Orang Betawi (POB).
Gerakan perjuangan FBR dilandasi oleh keikhlasan, persatuan, dan tanggung jawab moral kepada masyarakat sekitar yang terpinggirkan akibat pembangunan ekonomi. Para pendiri FBR percaya bahwa pembangunan tidak melibatkan rakyatnya. FBR berupaya melakukan perubahan yang positif, efisien, dan bermartabat melalui program-programnya. Sehingga ke depan masyarakat Betawi bisa menjadi tuan rumah di kampungnya sendiri melalui kompetisi yang profesional dan proporsional. Almarhum Fadloli berharap FBR dapat mempererat persaudaraan antar warga Betawi dimanapun, berpartisipasi dalam program pemerintah, meningkatkan sumber daya masyarakat Betawi, meningkatkan peran masyarakat Betawi dalam segala aspek kehidupan, melestarikan seni budaya Betawi, dan akhirnya mengimplementasikan nilai-nilai Islam.
Namun, citra FBR tampaknya bertentangan secara diametral cita-cita mereka. FBR dan sejumlah ormas berbasis primordial kerap bentrok dengan ormas lain di lapangan. FBR dan ormas lainnya menjadi perbincangan hangat akibat seringnya bentrokan. Sepeninggal Fadloli, FBR kini dipimpin oleh Luthfi Hakim. Organisasi FBR tidak dibentuk untuk mengizinkan anggotanya menggunakan kekerasan. Beberapa khawatir tentang kelangsungan hidup mereka sendiri. Pada masa pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, wacana pembubaran ormas dinilai meresahkan, tidak pernah terwujud.
Karena semua kelompok etnis berinteraksi dalam masyarakat yang serba cepat, FBR didirikan di jantung komunitas sosial Jakarta yang beragam. Akibatnya, dalam hal pembangunan ekonomi dan moral, keragaman penduduk Jakarta dianggap sebagai aset kota yang paling berharga. Sebagai warga inti Jakarta, Betawi menghadapi berbagai tantangan dalam mengembangkan diri di tengah masyarakat yang majemuk, antara lain masalah politik, sosial budaya, ekonomi, agama, dan sebagainya. Pembentukan FBR diharapkan agar masyarakat Betawi dapat menyalurkan aspirasinya, mengaktualisasikan diri, dan mengembangkan potensinya tanpa harus mengecualikan suku bangsa lain yang hidup berdampingan di bumi Betawi.
Keturunan biologis dari campuran berbagai suku dan bangsa membentuk mereka yang mengidentifikasi diri sebagai orang Betawi. Mereka adalah keturunan dari pernikahan antaretnis bersejarah dan serikat multinasional. Suku bangsa ini masih dalam masa pertumbuhan, begitu pula pemahaman diri sebagai anggota masyarakat Betawi. Tergantung dari mana mereka berasal, mereka biasanya menyebut diri mereka dalam percakapan sehari-hari sebagai orang Kemayoran, Senen, atau Rawabelong. Kehadiran orang Betawi sebagai kelompok etnis dan sebagai entitas sosial dan politik di lingkungan yang lebih besar, khususnya Hindia Belanda, baru diakui pada tahun 1923, ketika Moh Husni Thamrin, seorang tokoh masyarakat Betawi, mendirikan Perkoempoelan Kaoem Betawi. Saat itu, semua orang Betawi baru tahu bahwa mereka adalah golongan orang Betawi. Berbagai kultur dan budaya termasuk dari luar nusantara telah tergabung dalam budaya Betawi secara umum.