
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Isra Mikraj sebagai salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah kenabian. Namun ketika memasuki 2026, muncul satu pertanyaan provokatif yang layak direnungkan: apakah Isra Mikraj masih kita hayati sebagai mukjizat agung, ataukah ia telah berubah menjadi sekadar ritual tahunan yang kehilangan makna? Pertanyaan ini penting, karena pada kenyataannya banyak umat hanya mengenang tanggalnya, bukan pesan mendalam yang terkandung di balik peristiwa tersebut.
Isra Mikraj bukanlah kisah biasa. Ia merupakan perjalanan spiritual Nabi Muhammad S.A.W yang mengguncang logika manusia sebuah perjalanan semalam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa (Isra), lalu naik menembus langit (Mikraj) hingga ke Sidratul Muntaha untuk menerima perintah salat. Peristiwa luar biasa ini bukan hanya tentang perjalanan fisik, tetapi juga pesan ilahi yang menjadi pondasi kehidupan umat Muslim. Namun, apakah pesan itu masih benar-benar kita resapi hari ini?
Memasuki 2026, tantangan umat semakin berlapis: dunia yang semakin materialistis, media sosial yang membuat manusia mudah terpecah, dan rutinitas yang perlahan mengikis kesadaran spiritual. Jika pada masa Nabi perdebatan tentang Isra Mikraj menyangkut soal apakah perjalanan itu mungkin secara fisik, maka hari ini pertanyaannya berbeda: apakah kita masih memercayai pesan yang dibawa oleh peristiwa tersebut, meski hidup kita sering kali bertolak belakang dengan maknanya?
Perintah salat, yang merupakan inti dari Mikraj, justru menjadi bagian yang paling sering kita lalaikan. Ironisnya, sebagian umat memperingati Isra Mikraj dengan berbagai kegiatan seremonial, tetapi kewajiban yang merupakan puncak peristiwa itu justru ditinggalkan. Kita terpukau pada kisah perjalanan Nabi, tetapi lupa pada amanat ibadah yang justru menjadi hadiah utama dari perjalanan itu. Perayaan ada, kesadaran hilang—dan ini menjadi refleksi kelam bagi umat di zaman modern.
Tak dapat dipungkiri, Isra Mikraj adalah ujian keimanan. Pada masa Nabi, banyak yang menolak untuk mempercayai kisah tersebut karena dianggap melampaui batas logika. Namun, para sahabat yang kuat imannya menerimanya tanpa ragu. Abu Bakar As-Siddiq bahkan mendapatkan gelar “Ash-Shiddiq” karena membenarkan peristiwa itu sepenuhnya. Pertanyaannya kini: jika kita hidup di masa itu, akankah kita menjadi bagian yang percaya, atau justru bagian yang meragukan?
Di era sains dan teknologi 2026, manusia semakin terlatih membuktikan segala sesuatu secara empiris. Namun agama mengajarkan ruang bagi hal yang tidak bisa dijelaskan oleh logika. Isra Mikraj adalah simbol bahwa kemampuan Allah melampaui batasan apa pun. Jika kita terlalu sibuk mencari “bagaimana caranya,” kita justru kehilangan makna “mengapa Allah memperlihatkan mukjizat itu.” Peristiwa Isra Mikraj menegaskan bahwa iman bukan sekadar soal memahami, tetapi tentang menerima kebesaran Allah meski akal kita terbatas.
Selain perintah salat, Isra Mikraj juga sarat dengan simbol dan pelajaran moral. Nabi melihat berbagai kondisi umat—baik yang mendapat rahmat maupun azab sebagai peringatan untuk manusia. Ini menunjukkan bahwa perjalanan tersebut tidak hanya bersifat spiritual, tetapi juga edukatif. Tetapi kembali lagi, apakah kita masih memaknai itu di 2026? Apakah kita masih melihat Isra Mikraj sebagai momentum memperbaiki diri, atau sekadar tanggal merah di kalender?
Padahal, jika direnungkan lebih dalam, Isra Mikraj adalah bukti spesialnya Nabi Muhammad S.A.W di sisi Allah. Ketika manusia di bumi sibuk dengan urusan duniawi, Allah memanggil kekasih-Nya untuk menerima perintah yang akan menjadi tiang agama. Ini bukan sekadar perjalanan, tetapi bentuk penghormatan ilahi. Dan umat yang mencintai Nabi seharusnya merasakan getaran spiritual ketika mengingat peristiwa itu.
Isra Mikraj 2026 seharusnya menjadi momen untuk menghidupkan kembali makna iman yang sering terkubur oleh kesibukan dunia. Peristiwa ini harus mendorong kita untuk menata kembali hubungan dengan Allah terutama melalui salat. Jika salat adalah “mikraj”-nya umat, maka setiap kali kita mengerjakannya, kita sesungguhnya sedang mengulang kembali esensi perjalanan Nabi, meski dalam bentuk yang berbeda.
Maka, ketika memperingati Isra Mikraj tahun ini, mari kita bertanya pada diri sendiri: apakah kita hanya sedang menjalankan tradisi, atau benar-benar menghayati maknanya? Peristiwa Isra Mikraj bukan untuk dipajang sebagai cerita, tetapi untuk dijadikan bahan renungan, inspirasi, dan pembenahan diri.