
Setiap 24 Januari, dunia memperingati Hari Pendidikan Internasional, sebuah momentum yang digagas oleh UNESCO untuk menegaskan bahwa pendidikan adalah hak dasar setiap manusia. Namun, memasuki 2026, perayaan ini menimbulkan pertanyaan yang tak nyaman: apakah kita benar-benar memajukan pendidikan global, atau hanya sibuk dengan retorika dan simbolisme?
Pendidikan seharusnya menjadi fondasi untuk mencetak generasi yang cerdas, kritis, dan siap menghadapi tantangan masa depan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang jauh dari ideal. UNESCO melaporkan bahwa lebih dari 260 juta anak dan remaja di seluruh dunia masih belum mengenyam pendidikan dasar yang layak. Kesenjangan pendidikan antara negara maju dan berkembang, antara kota dan desa, serta antara kelompok kaya dan miskin, tetap menjadi kenyataan yang menyakitkan. Hari Pendidikan Internasional 2026 harus menjadi cermin untuk melihat seberapa jauh komitmen global terhadap pendidikan, bukan sekadar seremoni tahunan.
Tahun 2026 ini, tema peringatan adalah “Pendidikan untuk Masa Depan yang Inklusif dan Berkelanjutan.” Tema ini menekankan bahwa pendidikan bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang membentuk kesadaran sosial, keberlanjutan, dan inklusivitas. Namun kenyataannya, di banyak negara, kurikulum masih kaku, guru kekurangan dukungan, dan fasilitas pendidikan tidak merata. Anak-anak di daerah terpencil masih harus menempuh jarak puluhan kilometer untuk sekadar mencapai sekolah. Sementara itu, di kota besar, meskipun teknologi semakin canggih, kualitas pendidikan tetap bergantung pada akses finansial keluarga.
Hari Pendidikan Internasional 2026 juga menjadi panggilan bagi dunia digital. Pandemi COVID-19 telah memperlihatkan bahwa pendidikan daring bisa menjadi solusi, tetapi juga menimbulkan masalah baru: ketimpangan digital. Banyak anak di negara berkembang tidak memiliki akses internet, perangkat digital, atau bahkan listrik yang memadai. Ini berarti, tanpa intervensi nyata, era digital yang seharusnya memperluas akses pendidikan justru memperlebar kesenjangan.
Selain itu, Hari Pendidikan Internasional mengingatkan kita bahwa pendidikan bukan hanya soal sekolah formal. Pendidikan karakter, kreativitas, dan literasi kritis sama pentingnya dengan membaca, menulis, dan berhitung. Namun, banyak kurikulum masih menekankan penghafalan dan ujian semata, mengabaikan keterampilan hidup yang esensial. Jika pola ini tidak diubah, perayaan Hari Pendidikan Internasional akan menjadi ironis: memperingati pendidikan, sementara sistemnya sendiri gagal mempersiapkan generasi masa depan.
Tahun 2026 juga menekankan inklusivitas. Pendidikan harus dapat diakses oleh semua anak, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus, anak-anak dari kelompok minoritas, dan anak-anak korban konflik. UNESCO menegaskan bahwa pendidikan inklusif bukan sekadar menyediakan akses fisik, tetapi juga menyesuaikan metode pembelajaran agar sesuai dengan kebutuhan setiap individu. Tanpa inklusivitas, pendidikan tetap eksklusif, dan perayaan hari ini hanyalah simbol belaka.
Di sisi lain, peringatan Hari Pendidikan Internasional dapat menjadi momentum aksi nyata. Pemerintah, lembaga pendidikan, dan masyarakat bisa memanfaatkan momen ini untuk meluncurkan program beasiswa, membangun fasilitas pendidikan di daerah tertinggal, meningkatkan pelatihan guru, dan mendorong literasi digital. Kampanye kesadaran di media sosial juga bisa menginspirasi masyarakat untuk ikut ambil bagian, misalnya dengan mendukung perpustakaan lokal, mentoring anak-anak, atau program literasi daring.
Namun, kunci keberhasilan peringatan ini bukan hanya pada program, tetapi pada keberlanjutan. Pendidikan bukan proyek satu hari atau satu tahun; ia adalah proses panjang yang membutuhkan komitmen politik, finansial, dan sosial. Hari Pendidikan Internasional 2026 harus menjadi pengingat bahwa kita harus bertindak sekarang, bukan menunggu simbol perayaan berikutnya. Tanpa tindakan nyata, semua slogan dan tema hanyalah kata-kata manis tanpa substansi.
Pertanyaan provokatif yang muncul pada tahun 2026 adalah: apakah kita merayakan pendidikan untuk merayakan diri sendiri, atau untuk benar-benar mengubah kehidupan anak-anak yang masih terpinggirkan? Apakah kita menggunakan Hari Pendidikan Internasional sebagai kesempatan refleksi dan inovasi, atau sekadar acara seremonial yang mengisi kalender internasional?
Hari Pendidikan Internasional bukan hanya tentang simbol dan pidato. Ia adalah panggilan untuk keadilan sosial, penghapusan ketimpangan, dan pembentukan masyarakat yang cerdas dan kritis. Tahun 2026 menawarkan kesempatan untuk mengevaluasi langkah-langkah kita, memperbaiki sistem yang cacat, dan memastikan bahwa setiap anak, di mana pun ia lahir, memiliki hak untuk belajar dan berkembang.
Singkatnya, Hari Pendidikan Internasional 2026 menantang kita semua: jangan hanya memperingati pendidikan dengan retorika indah, tapi gunakan momen ini untuk memastikan pendidikan menjadi hak nyata bagi setiap manusia. Dunia tidak membutuhkan perayaan kosong; dunia membutuhkan perubahan yang nyata dan berkelanjutan.