
Ketika gema takbir menggema dari setiap masjid dan surau, udara pagi terasa berbeda. Ada suasana haru, bahagia, sekaligus penuh makna. Idul Adha 1447 Hijriah bukan hanya tentang menyembelih hewan kurban, tetapi juga tentang menyembelih ego, keserakahan, dan segala hal yang menjauhkan manusia dari makna sejati pengorbanan.
Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia memperingati Idul Adha sebagai bentuk penghormatan atas keteguhan iman Nabi Ibrahim AS dan keikhlasan putranya, Nabi Ismail AS. Kisah mereka bukan sekadar dongeng masa lalu, melainkan cermin kehidupan yang selalu relevan di setiap zaman termasuk di era modern saat ini.
Sejarah Idul Adha berawal dari perintah Allah kepada Nabi Ibrahim AS melalui sebuah mimpi. Dalam mimpi itu, beliau diminta untuk menyembelih putranya, Ismail AS anak yang telah lama dinantikan. Betapa besar ujian itu: seorang ayah yang saleh harus mengorbankan buah hatinya demi ketaatan kepada Tuhannya.
Namun, tanpa ragu, Ibrahim AS mematuhi perintah tersebut. Ismail pun, dengan ketulusan luar biasa, menerima takdir itu dengan lapang dada. Ketika pisau hampir menyentuh lehernya, Allah menggantikan Ismail dengan seekor domba. Dari peristiwa itulah lahir perintah berkurban sebagai bentuk ketaatan dan kepasrahan total kepada Sang Pencipta.
Idul Adha menjadi simbol bahwa pengorbanan terbesar bukan tentang kehilangan, tetapi tentang keikhlasan memberi yang terbaik untuk Allah.
Di masa kini, Idul Adha bukan hanya ritual menyembelih sapi, kambing, atau domba. Lebih dari itu, ia adalah momentum untuk menumbuhkan empati sosial dan rasa syukur. Dalam setiap tetes darah hewan kurban, terkandung pesan tentang kepedulian terhadap sesama.
Kurban adalah wujud nyata solidaritas umat Islam. Daging yang dibagikan kepada fakir miskin bukan sekadar santapan, tetapi simbol bahwa rezeki sejatinya adalah titipan. Mereka yang mampu berkurban diingatkan untuk tidak sombong, dan mereka yang menerima diingatkan bahwa Allah tidak pernah melupakan mereka.
Idul Adha juga menjadi ajang introspeksi diri. Apakah kita selama ini benar-benar berkurban untuk sesuatu yang berarti? Ataukah kita hanya mengejar dunia, tanpa meniatkan pengorbanan untuk kebaikan yang lebih besar?
Idul Adha juga erat kaitannya dengan pelaksanaan ibadah haji. Setiap tahun, jutaan umat Islam dari seluruh penjuru dunia berkumpul di tanah suci, menanggalkan status sosial, kekayaan, dan kebangsaan mereka. Semua mengenakan pakaian ihram yang sama tanda kesetaraan di hadapan Allah SWT.
Ritual haji dan kurban mengajarkan satu pesan universal: kesatuan umat dan kepasrahan total kepada Allah. Di tengah dunia yang penuh perbedaan dan konflik, Idul Adha mengingatkan kita untuk kembali kepada nilai persaudaraan. Bahwa setiap muslim, di mana pun ia berada, adalah bagian dari keluarga besar yang sama.
Tahun 1447 Hijriah ini datang dengan banyak tantangan dari tekanan ekonomi global, perubahan sosial, hingga ujian moral di era digital. Namun justru di tengah semua itu, semangat Idul Adha menjadi sangat relevan.
Kita diajak untuk meneladani Nabi Ibrahim: berani berkorban demi kebenaran, berani melepaskan sesuatu yang kita cintai demi nilai yang lebih tinggi.
Pengorbanan tidak selalu berbentuk materi. Kadang, ia berupa waktu yang kita luangkan untuk keluarga, tenaga yang kita curahkan untuk membantu sesama, atau bahkan kesabaran untuk memaafkan orang lain.
Di sinilah letak keindahan Idul Adha setiap orang bisa berkurban dalam bentuk yang berbeda, sesuai dengan kemampuannya.
Salah satu pesan terdalam dari Idul Adha adalah tentang penyembelihan ego. Nabi Ibrahim tidak hanya menyembelih hewan, tetapi juga menyembelih keakuannya. Ia menundukkan keinginan pribadi demi kehendak Allah. Dan itulah yang seharusnya menjadi tujuan utama setiap muslim.
Kita hidup di zaman di mana banyak orang berlomba-lomba untuk diakui, dipuji, dan dihormati. Namun Idul Adha mengingatkan: keikhlasan justru lahir dari kesediaan untuk melepaskan pamrih.
Seperti pisau yang menebas daging, kita pun harus belajar menebas sifat sombong, iri, dan tamak yang sering kali menguasai hati.
Ketika gema takbir berkumandang di pagi 10 Dzulhijjah 1447 H, marilah kita bukan hanya mempersiapkan hewan kurban, tetapi juga mempersiapkan hati yang lapang. Mari menjadikan Idul Adha sebagai titik awal untuk hidup lebih tulus, lebih peduli, dan lebih taat.
Karena sejatinya, makna terbesar dari Idul Adha bukan terletak pada daging yang dibagi, tetapi pada ketundukan hati kepada Allah dan kasih sayang antar manusia.
Semoga Idul Adha 1447 H membawa keberkahan, kedamaian, dan semangat pengorbanan bagi kita semua.