
Setiap tahun, jutaan umat Buddha di seluruh dunia menantikan datangnya Hari Raya Waisak, sebuah perayaan penuh makna yang mengingatkan umat manusia akan pentingnya kedamaian, kasih sayang, dan kebijaksanaan. Di Indonesia, terutama di Candi Borobudur, perayaan Waisak 2570 BE (Buddhist Era) menjadi momen spiritual yang bukan hanya milik umat Buddha, melainkan juga simbol toleransi dan harmoni antarumat beragama.
Tahun 2570 BE (Buddhist Era) dalam penanggalan masehi jatuh pada tahun 2026 (karena tahun Buddha dihitung 543 tahun lebih maju dari Masehi). Namun, peringatan Waisak selalu jatuh pada waktu yang berbeda setiap tahun, mengikuti penanggalan lunar (bulan purnama di bulan Waisak atau Vesakh). Pada momen inilah, umat Buddha memperingati tiga peristiwa agung yang dikenal sebagai Trisuci Waisak kelahiran, pencerahan, dan wafatnya Sang Buddha Gautama.
Kelahiran Pangeran Siddhartha Gautama di Lumbini
Sekitar 623 SM, di taman Lumbini (Nepal saat ini), lahirlah seorang pangeran bernama Siddhartha Gautama dari pasangan Raja Suddhodana dan Ratu Maya. Kelahirannya diyakini membawa tanda-tanda kebesaran dan kebijaksanaan, yang kelak akan membawa perubahan besar bagi dunia.
Pencerahan di Bodhgaya
Setelah menjalani perjalanan spiritual yang panjang dan penuh penderitaan, Siddhartha akhirnya mencapai pencerahan di bawah pohon Bodhi di Bodhgaya, India. Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sang Buddha, “Yang Tercerahkan”. Dari sinilah ajaran Dhamma lahir sebuah panduan hidup yang mengajarkan penderitaan, penyebabnya, dan jalan menuju kebebasan batin.
Parinibbana di Kusinara
Peristiwa ketiga adalah wafatnya Sang Buddha di Kusinara pada usia 80 tahun. Namun, kematiannya bukanlah akhir, melainkan simbol pelepasan dari siklus penderitaan (samsara). Ia mencapai Parinibbana, yaitu keadaan damai sempurna yang bebas dari segala keinginan duniawi.
Ketiga peristiwa ini terjadi pada hari bulan purnama di bulan Waisak, sehingga dirayakan sebagai satu kesatuan suci yang penuh makna spiritual.
Indonesia memiliki keistimewaan tersendiri dalam merayakan Waisak. Pusat perayaan nasional selalu berpusat di Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, candi Buddha terbesar di dunia yang menjadi warisan budaya dan spiritual umat manusia.
Perayaan Waisak di Borobudur biasanya diawali dengan serangkaian kegiatan keagamaan:
Pengambilan Air Suci dari Umbul Jumprit di Temanggung, yang melambangkan kesucian hati dan pikiran.
Penyalaan Api Dharma dari Mrapen, Grobogan, sebagai simbol penerangan batin.
Prosesi berjalan kaki (Pradaksina) sejauh ±3 kilometer dari Candi Mendut menuju Candi Borobudur sambil membawa lilin dan bunga.
Puncak Waisak dilakukan saat bulan purnama tepat berada di atas stupa utama Borobudur, ditandai dengan meditasi, pelepasan lampion, dan doa universal untuk kedamaian dunia.
Pelepasan ribuan lampion ke langit malam menjadi simbol pelepasan nafsu, amarah, dan kebencian, serta harapan agar kebijaksanaan dan kasih sayang menyinari dunia. Pemandangan ini bukan hanya indah, tetapi juga menyentuh hati siapa pun yang menyaksikannya.
Hari Raya Waisak tidak hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga membawa pesan universal bagi seluruh umat manusia. Ajaran Buddha yang diingat pada hari ini mengajarkan lima sila (Pancasila Buddhis), yaitu:
Tidak membunuh makhluk hidup.
Tidak mengambil apa yang tidak diberikan.
Tidak berbuat asusila.
Tidak berkata dusta.
Tidak menggunakan zat yang memabukkan dan merusak kesadaran.
Kelima sila ini menjadi dasar moral untuk menciptakan kehidupan yang damai dan selaras. Dalam konteks modern, nilai-nilai ini mengingatkan kita untuk menjaga lingkungan, menghormati sesama, berkata jujur, dan hidup dengan kesadaran penuh (mindfulness).
Selain itu, ajaran Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangika Magga) juga menjadi panduan agar manusia hidup seimbang tidak larut dalam kenikmatan duniawi, namun juga tidak menyiksa diri. Prinsip ini relevan sekali di era modern yang penuh tekanan dan persaingan.
Indonesia dikenal sebagai negeri dengan keberagaman agama dan budaya. Perayaan Waisak setiap tahun di Borobudur menjadi simbol nyata toleransi dan harmoni antarumat beragama. Ribuan pengunjung dari berbagai latar belakang baik umat Buddha, Hindu, Muslim, Kristen, maupun wisatawan mancanegara datang bersama-sama untuk menyaksikan keindahan spiritualitas dalam damai.
Dalam suasana seperti ini, Waisak bukan hanya milik umat Buddha, tetapi juga milik bangsa Indonesia, sebagai cerminan nilai kemanusiaan dan kebersamaan yang dijunjung tinggi.
Di tengah dunia yang kian sibuk, digital, dan sering kali dipenuhi konflik, Waisak 2570 BE menjadi ajakan untuk berhenti sejenak dan menyalakan cahaya kedamaian dalam diri. Seperti lentera yang terbang di langit malam, Waisak mengingatkan kita bahwa setiap manusia memiliki potensi menjadi sumber terang bagi sekitarnya melalui tindakan welas asih, empati, dan pengendalian diri.
Waisak bukan sekadar perayaan, melainkan pengingat untuk menapaki hidup dengan kesadaran penuh (mindfulness) menyadari bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari harta atau jabatan, melainkan dari kedamaian batin dan kebijaksanaan.
Hari Raya Waisak 2570 BE adalah momentum untuk memperkuat spiritualitas, menebar kasih, dan memperdalam makna kehidupan. Dari Candi Borobudur yang berdiri megah hingga hati setiap insan yang merenung di bawah sinar bulan purnama, pesan Sang Buddha terus hidup:
“Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, tetapi dengan cinta kasih. Inilah hukum yang kekal.”
Selamat merayakan Waisak 2570 BE.
Semoga semua makhluk hidup berbahagia, damai, dan terbebas dari penderitaan. Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta.