Setiap kali bulan Oktober tiba, bangsa Indonesia kembali diingatkan akan satu peristiwa monumental: Sumpah Pemuda. Momen bersejarah yang terjadi pada 28 Oktober 1928 — bukan 1908, tahun berdirinya Budi Utomo sebagai tonggak kebangkitan nasional — menjadi simbol tekad generasi muda untuk bersatu, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia. Namun, baik tahun 1908 maupun 1928 sama-sama menyala dalam satu semangat: kesadaran kolektif bahwa pemuda adalah kekuatan perubahan.
Kini, hampir satu abad kemudian, kita tiba di tahun 2025 — zaman yang jauh berbeda, tapi semangatnya seharusnya tetap sama: semangat untuk berbuat, berkarya, dan memberi makna bagi negeri.
Bayangkan situasi Indonesia pada awal abad ke-20. Pendidikan terbatas, kemerdekaan hanyalah mimpi, dan penjajahan mengekang di segala lini. Namun, dari keterbatasan itu, muncul sekelompok anak muda berani yang menyalakan api kebangkitan. Mereka bukanlah orang-orang kaya, bukan pula pejabat — mereka adalah pemuda dengan mimpi besar.
Gerakan Budi Utomo pada 1908 adalah awal kesadaran nasional: kesadaran bahwa nasib bangsa hanya bisa diubah oleh rakyatnya sendiri. Dua puluh tahun kemudian, pada 1928, kesadaran itu berpuncak dalam Sumpah Pemuda. Dalam sebuah kongres sederhana, para pemuda dari berbagai daerah — dengan bahasa, budaya, dan latar belakang berbeda — bersatu mengikrarkan satu tekad:
“Satu nusa, satu bangsa, satu bahasa: Indonesia.”
Sumpah itu bukan sekadar kata, melainkan janji hidup. Mereka tahu, untuk melahirkan Indonesia yang merdeka, dibutuhkan keberanian meninggalkan ego dan identitas sempit demi cita-cita bersama.
Kini, kita hidup di zaman serba cepat. Dunia berubah setiap detik. Informasi mengalir tanpa batas, teknologi menggantikan banyak pekerjaan, dan media sosial menjadi panggung utama ekspresi anak muda.
Namun, di balik semua kemudahan itu, muncul tantangan baru: krisis arah dan makna. Banyak pemuda kehilangan fokus — tenggelam dalam arus perbandingan, validasi sosial, dan ketergantungan digital.
Pertanyaannya: Apakah semangat Sumpah Pemuda masih hidup di dada kita hari ini?
Jawabannya tergantung pada cara kita memaknai “perjuangan.” Dulu, perjuangan berarti mengusir penjajah dengan senjata dan sumpah. Kini, perjuangan berarti menghadapi ketidakpastian dengan keberanian, membangun masa depan dengan pengetahuan, dan menjaga integritas di tengah godaan zaman.
Pemuda masa kini bukan lagi harus berperang di medan tempur, tetapi berperang melawan kemalasan, kebodohan, dan pesimisme. Di era globalisasi, lawan terbesar bukan bangsa lain — melainkan diri sendiri yang mudah menyerah.
Sumpah Pemuda 2025 bukan lagi tentang mengangkat bendera, tapi tentang mengangkat martabat. Bukan sekadar “bersatu dalam kata”, tapi “beraksi dalam karya”.
Kita perlu menyalakan kembali semangat gotong royong di era digital: saling dukung, saling belajar, dan saling tumbuh.
Pemuda harus sadar bahwa mereka bukan hanya pengguna teknologi, tapi pencipta perubahan.
Mahasiswa yang membuat aplikasi sosial untuk membantu petani — itu semangat Sumpah Pemuda.
Desainer yang menciptakan kampanye anti-bullying di media sosial — itu juga semangat Sumpah Pemuda.
Content creator yang menyebarkan literasi digital, bukan hoaks — mereka pun bagian dari perjuangan.
Inilah bentuk baru dari perjuangan 2025: perjuangan ide, kreativitas, dan nilai.
Jika pemuda 1908 adalah bara dalam gelap, maka pemuda 2025 adalah cahaya di tengah derasnya arus perubahan.
Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik keluhan. Dunia membutuhkan pemuda yang berani bermimpi dan bekerja. Tidak harus menjadi pahlawan di medan perang — cukup menjadi orang yang tidak berhenti mencoba, tidak berhenti belajar, dan tidak berhenti peduli.
Sumpah Pemuda bukan hanya peristiwa sejarah yang diperingati setiap tahun. Ia adalah jiwa yang hidup dalam setiap anak muda yang memilih untuk tidak diam. Ia adalah napas yang memberi makna pada setiap langkah menuju masa depan yang lebih baik.
Wahai pemuda Indonesia tahun 2025, jangan biarkan semangat 1908 dan 1928 menjadi sekadar catatan buku pelajaran. Jadikan semangat itu cermin untuk menatap masa depan.
Bangunlah negeri ini dengan karya, bukan hanya kata. Jadilah generasi yang bukan hanya pintar, tapi juga peka. Jadilah pelita bagi yang lain.
Karena di setiap zaman, Indonesia selalu menunggu pemuda-pemudanya untuk kembali bersumpah — bukan dengan bibir, tetapi dengan tindakan.
Dan mungkin, suatu hari nanti, sejarah akan mencatat:
“Tahun 2025 adalah tahun ketika pemuda Indonesia kembali menyalakan api perubahan — bukan dengan senjata, tapi dengan semangat, cinta, dan karya nyata.”