Di sebuah sudut kampung di kawasan Yogyakarta, suara perempuan tak lagi sekadar bisik-bisik di dapur. Mereka kini meracik cerita, menyulam harapan, dan menghadirkannya ke ruang publik bukan dengan teriakan, melainkan lewat seni dan narasi yang penuh makna.
Adalah Komunitas Empu Gampingan, sekelompok perempuan lintas usia yang berkumpul bukan sekadar untuk berbagi beban rumah tangga, tapi juga untuk menghidupkan kembali ruang-ruang ekspresi yang selama ini jarang disentuh oleh perempuan desa.
Melalui karya, mereka menantang batas-batas naratif tentang perempuan. Mereka hadir di ruang galeri bukan sekadar pengisi acara, tapi sebagai pencipta wacana dan penjaga memori kolektif.
Kata “empu” dalam bahasa Jawa memiliki banyak makna: bisa berarti ahli, bisa juga berarti perempuan tua yang dihormati. Tapi di tangan Komunitas Empu Gampingan, kata ini dihidupkan sebagai simbol peran dan daya cipta perempuan. Bahwa perempuan desa pun bisa menjadi empunya pengetahuan, budaya, dan perubahan.
Komunitas ini berawal dari kegiatan kecil di lingkungan RT dan PKK, lalu berkembang menjadi wadah diskusi dan produksi karya. Mereka tak hanya membuat kerajinan, tetapi juga menulis, memotret, membuat instalasi, hingga mengisi ruang galeri dengan suara dan perspektif perempuan yang kerap dilupakan.
Dalam beberapa tahun terakhir, Komunitas Empu Gampingan aktif menggelar pameran, lokakarya, hingga pertunjukan di berbagai ruang galeri di Yogyakarta. Salah satu proyek penting mereka adalah "Ruang Perempuan" sebuah inisiatif seni yang mengajak ibu rumah tangga, lansia, dan perempuan muda untuk menuangkan pengalaman hidup mereka ke dalam karya visual dan naratif.
Ruang galeri yang biasanya terasa eksklusif dan elitis, kini menjadi ruang bersama yang ramah, inklusif, dan penuh kehangatan. Dinding galeri dipenuhi kain perca bertuliskan harapan, foto-foto dapur yang menjadi saksi bisu perjuangan, hingga instalasi dari perabot bekas yang menyuarakan kisah-kisah tak terdengar.
Di sana, setiap benda memiliki cerita. Setiap cerita adalah bentuk perlawanan terhadap diam.
Apa yang dilakukan Komunitas Empu Gampingan bukan sekadar berkesenian untuk mengisi waktu luang. Mereka menggunakan seni sebagai alat advokasi yang lembut tapi kuat. Isu-isu seperti kekerasan dalam rumah tangga, beban kerja domestik, hingga keterbatasan akses pendidikan dan kesehatan, diangkat secara jujur namun penuh empati.
Dengan medium yang beragam dari puisi, kain, lukisan, sampai video dokumenter mereka tidak hanya bercerita, tapi juga mengajak audiens untuk merasakan dan merenungkan kehidupan perempuan desa dari sudut pandang yang lebih dalam.
Salah satu anggota komunitas, Mbak Yani, menceritakan bagaimana pertama kali ia menulis puisi setelah puluhan tahun merasa suaranya tidak penting.
“Dulu saya pikir hanya orang kota yang bisa nulis. Tapi ternyata cerita saya pun layak dibaca. Dulu saya hanya bicara di dapur, sekarang suara saya ada di galeri.”
Pernyataan sederhana ini menjadi cermin penting: perempuan tidak kekurangan cerita, mereka hanya kekurangan ruang untuk didengar. Dan Komunitas Empu Gampingan membuka ruang itu dengan tangan terbuka.
Salah satu kekuatan komunitas ini adalah kerja lintas generasi. Nenek-nenek yang menyulam duduk bersama anak muda yang menggambar. Mereka berdiskusi soal budaya, teknologi, bahkan politik domestik dalam keseharian.
Kegiatan seperti ini tidak hanya menghidupkan kembali nilai-nilai lokal, tetapi juga menciptakan jembatan antar generasi agar cerita dan pengetahuan perempuan tidak hilang begitu saja.
Komunitas Empu Gampingan menunjukkan bahwa ruang seni bukan milik seniman semata. Ia bisa menjadi milik siapa saja yang punya cerita dan keberanian untuk berbagi. Melalui kolaborasi dengan seniman, akademisi, dan penggerak komunitas lain, mereka berharap bisa memperluas jangkauan gerak dan menyentuh lebih banyak perempuan.
Mereka juga mulai merancang program berkelanjutan seperti arsip digital, sekolah menulis untuk ibu rumah tangga, serta pelatihan kreatif berbasis budaya lokal. Semua ini diarahkan agar perempuan tak hanya jadi objek narasi, tapi subjek utama perubahan sosial.
Apa yang dilakukan Komunitas Empu Gampingan membuktikan bahwa seni tidak harus megah untuk bermakna. Terkadang, kisah paling jujur lahir dari rumah-rumah kecil di kampung, dari tangan-tangan yang biasa menggenggam sendok dan sapu.
Melalui ruang galeri, mereka tidak hanya memamerkan karya. Mereka menghadirkan suara yang selama ini tertahan dan menjadikannya gema yang menginspirasi.
Perempuan tidak hanya menciptakan kehidupan di rumah, tapi juga peradaban di ruang seni. Komunitas Empu Gampingan sudah membuktikannya.