
Setiap tanggal 4 Januari, dunia memperingati Hari Braille Sedunia, sebuah momentum untuk menghormati Louis Braille, penemu sistem aksara yang memungkinkan jutaan orang tunanetra untuk membaca, menulis, dan merasakan dunia melalui sentuhan. Tahun 2026 ini, peringatan tersebut bukan sekadar seremonial ia menantang kita untuk menilai kembali bagaimana masyarakat modern memperlakukan literasi, aksesibilitas, dan kesetaraan hak bagi mereka yang tidak bisa melihat.
Braille bukan sekadar huruf timbul di atas kertas. Ia adalah jembatan menuju dunia pengetahuan, seni, dan kebebasan. Tanpa Braille, banyak orang tunanetra terjebak dalam isolasi, bergantung pada orang lain untuk memahami teks, atau bahkan terhalang dari pendidikan formal. Menariknya, meskipun kita hidup di era digital, jutaan orang tunanetra di seluruh dunia masih menghadapi tantangan serius dalam mengakses informasi. Buku cetak yang kompatibel dengan Braille terbatas, perangkat teknologi khusus mahal, dan lingkungan publik jarang dirancang dengan prinsip inklusif.
Hari Braille Sedunia 2026 mengangkat tema “Aksesibilitas untuk Semua: Membaca Dunia Tanpa Batas.” Tema ini menekankan bahwa membaca bukan hak istimewa, melainkan hak asasi manusia. Namun, pertanyaannya adalah: apakah kita benar-benar mempraktikkannya? Sekolah-sekolah, perpustakaan, dan bahkan platform digital masih sering mengabaikan kebutuhan tunanetra. Statistik UNESCO menunjukkan bahwa di beberapa negara, kurang dari 10% buku baru tersedia dalam format Braille. Ini bukan hanya soal membaca, tapi soal peluang kesempatan untuk berpendidikan, bekerja, dan berpartisipasi penuh dalam kehidupan sosial.
Di sisi lain, kemajuan teknologi menjanjikan perubahan. Layar braille digital, pembaca layar canggih, dan aplikasi berbasis AI kini semakin memungkinkan orang tunanetra untuk mengakses teks digital dengan cepat. Namun teknologi ini juga menimbulkan paradoks: meskipun alat-alat baru ini potensial, tidak semua orang memiliki akses finansial atau keterampilan digital untuk menggunakannya. Tanpa kebijakan pemerintah yang berpihak, inovasi ini bisa memperlebar kesenjangan daripada menutupnya.
Lebih dari sekadar teknologi, Hari Braille Sedunia adalah pengingat moral bagi masyarakat. Kita sering menganggap membaca sebagai sesuatu yang alami: membuka mata, melihat kata, memahami dunia. Tapi bagi tunanetra, membaca adalah usaha yang jauh lebih kompleks, memerlukan sistem khusus, kesabaran, dan dukungan sosial. Dengan mengabaikan kebutuhan mereka, kita seolah-olah berkata: “Dunia ini hanya bisa dibaca oleh mata yang bisa melihat.” Pesan ini jelas diskriminatif, walaupun terselubung dalam ketidaksadaran.
Perayaan tahun 2026 juga menyoroti peran pendidikan inklusif. Di beberapa negara maju, sekolah telah berhasil mengintegrasikan Braille ke dalam kurikulum, memastikan murid tunanetra belajar bersama teman-teman mereka. Di negara berkembang, hal ini masih menjadi mimpi. Kurikulum standar sering kali tidak memperhitungkan metode alternatif untuk membaca dan menulis, sehingga anak-anak tunanetra mulai dari titik yang sangat tidak setara. Hari Braille Sedunia menantang dunia untuk melihat pendidikan inklusif bukan sebagai opsi, tapi sebagai kewajiban.
Selain pendidikan, budaya juga harus beradaptasi. Buku, majalah, pameran, dan teater harus tersedia dalam format aksesibel. Musik dan seni visual bisa dikombinasikan dengan narasi taktil. Saat dunia membanggakan literasi tinggi dan budaya baca digital, mereka yang tidak bisa melihat pun harus memiliki tempat dalam cerita itu. Tanpa langkah nyata, Hari Braille akan tetap menjadi simbol retoris daripada perubahan sosial.
Akhirnya, Hari Braille Sedunia 2026 mengajarkan kita satu hal sederhana tapi penting: membaca dunia tidak hanya soal mata. Membaca adalah soal hak, kesempatan, dan empati. Ketika kita memastikan bahwa setiap orang, tanpa kecuali, memiliki akses untuk “membaca” lingkungan mereka sendiri, kita menciptakan masyarakat yang lebih adil, setara, dan beradab. Jadi, pertanyaan provokatif tetap relevan: apakah kita benar-benar membaca dunia dengan mata semua orang, atau hanya bagi mereka yang bisa melihat?
Peringatan Hari Braille bukan hanya untuk tunanetra. Ia adalah panggilan bagi seluruh masyarakat pendidik, pembuat kebijakan, inovator, dan individu — untuk membayangkan dunia di mana membaca adalah hak, bukan kemewahan. Tahun 2026 adalah momentum untuk tidak hanya mengenang Louis Braille, tetapi juga menuntut tindakan nyata: lebih banyak buku, lebih banyak teknologi aksesibel, lebih banyak kesadaran. Karena membaca dunia seharusnya tidak terbatas oleh kemampuan mata, tapi oleh imajinasi dan kemauan kita untuk menjembatani perbedaan.