Peringatan Hari Film Nasional ke-72 yang jatuh pada 30 Maret 2022 sebagai ketetapan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Perfilman, Musik, dan Media, Direktorat Jenderal Kebudayaan. Hari Film Nasional ditentukan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1999. Pada Maret 1950 untuk pertama kalinya film diproduksi oleh perusahaan Indonesia dan disutradarai oleh orang Indonesia. Mendikbudristek saat ini Nadiem Anwar Makarim, memberikan apresiasi kepada seluruh insan perfilman Indonesia. Beliau mengucapkan selamat sebagai apresiasi tertinggi kepada seluruh pekerja perfilman Indonesia.
Diharapkan karya-karya insan perfilman dapat membuat bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya akan semakin kokoh dan mashyur. Industri film di Indonesia berkembang pesat saat ini. Selama lima tahun terakhir, pertumbuhan film Indonesia sangat beragam dan beragam. Perkembangan industri film terkadang dapat dianalisis dengan menggunakan konsep teori Industri Budaya. Mempelajari sejarah perfilman Indonesia memang tidak bisa dihindari. Menurut sejarah perkembangan perfilman tanah air, kondisi perfilman Indonesia menurun antara tahun 1950-an hingga 1956 akibat masuknya film-film asing. Sekitar waktu itu, film-film Amerika mendominasi bioskop Indonesia, tetapi film-film Malaysia dan India juga bersaing dengan film-film Indonesia.
Karena regulasi perfilman di Indonesia masih longgar, industri perfilman tanah air mengalami pasang surut. Bisa dikatakan bahwa industri film Indonesia saat ini sedang bangkit. Meski memiliki teknologi yang tidak secanggih Hollywood, industri perfilman nasional mengalami pertumbuhan tertinggi yang pernah ada. Peningkatan ini terlihat baik dari sisi penonton maupun jumlah produksi film.
Dari masa ke masa, berikut adalah sejarah perfilman di Indonesia.
Orang Indonesia mulai mengenal film pada tahun 1900, saat masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sebuah film dokumenter bisu tentang perjalanan Ratu dan Raja Belanda baru saja tayang perdana di Kebon Jae, Tanah Abang. Dalam 2,5 dekade berikutnya, Indonesia mulai menerima film-film Amerika dan Cina. G. Kruger dan L. Heuveldorp menyutradarai film Lotoeng Kasaroeng, sebuah produksi Indonesia dari tahun 1926. Film ini, yang dibuat oleh NV Jaya Film Company di Bandung meskipun diproduksi oleh Jerman dan Belanda, dianggap sebagai film Indonesia pertama karena plotnya yang khas Indonesia. Seiring berkembangnya film Indonesia, dominasi ekonomi China meningkat. Pada titik ini, jelas bahwa pondasi awal industri film Indonesia lebih bersifat sosial ekonomi daripada sosiokultural. Alasannya, meski beberapa karakter dan cerita terinspirasi dari Indonesia, pembuat filmnya bukan orang Indonesia.
Pada masa pemerintahan rezim Jepang, film-film Indonesia sangat langka. Ini karena semua film asing dilarang masuk ke Indonesia, dan satu-satunya film yang diizinkan adalah film-film propaganda yang mengagungkan keutamaan Jepang. Selama ini, tontonan publik hanya terbatas pada film-film Indonesia dan film Jepang yang sudah ada.
Pada awal kemerdekaan, Persatuan Seniman Film Indonesia hadir ketika Pacific Corporation milik Belanda diubah menjadi Pusat Film Nasional (PFN). Sayangnya, regulator tidak mendorong perkembangan ini dengan cara yang akan mendorong pertumbuhan film Indonesia. Karena film asing masuk ke Indonesia sementara produksi lokal masih lemah, persaingan menjadi tidak seimbang.
Gaya film Indonesia pada saat itu dipengaruhi oleh karya para kru film, beberapa di antaranya adalah para profesional terdidik dan anggota organisasi seniman sinema.
Tanggal 30 Maret 1950 PERFINI
Perusahaan Fitur Nasional Indonesia (PERFINI) didirikan oleh Usmar Ismail, yang film debutnya adalah Darah dan Doa. Kemudian, setiap tahun, Hari Film Nasional diperingati pada tanggal 30 Maret. Film pertama yang disutradarai oleh orang Indonesia adalah Darah dan Doa, yang diproduksi oleh Usmar Ismail dan perusahaannya sendiri.
Tanggal 23 April 1951 PERSARI
Perusahaan Seniman Republik Indonesia Djamaluddin Malik (PERSARI) secara resmi didirikan sebagai surga bagi seniman teater dan film. Jumlah film dalam negeri yang diproduksi meningkat pada tahun 1955.
Pada tahun 1955 GPBSI dan PERPENI
Produksi film Indonesia mengalami penurunan yang parah pada 1990-an, yang terburuk sejak kebangkitan pada awal 1970-an. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai alasan, seperti munculnya televisi swasta, struktur administrasi studio film, dan persaingan dari film internasional. Dengan kira-kira enam sampai sembilan film yang dibuat setiap tahun, jumlah produksi film nasional menurun drastis hingga ke titik mengkhawatirkan.
Adaptasi film dari buku-buku dengan resonansi sejarah telah memasukkan biografi K.H. Tokoh Ahmad Dahlan. Salah satu film yang diadaptasi dari buku Andrea Hirata yang menjadi komoditas, termasuk film terlaris tahun 2012, adalah Laskar Pelangi. Lima film terlaris tahun 2008 hingga 2012 adalah Laskar Pelangi, Ketika Cinta Bertasbih, Sang Pencerahan, Surat Kecil Untuk Tuhan, Habibie & Ainun. Ada manfaat finansial untuk mengubah novel menjadi film. Pada tahun 2012 film Habibie & Ainun menjadi film dengan rating tertinggi dengan 4.601.249 penonton. Pada tahun 2018 film Dilan 1990 menjadi film yang memiliki banyak penggemar dengan jumlah penonton sebanyak 6.315.664 penonton dan setahun setelah itu film Dilan 1991 menjadi film dengan rating tertinggi dengan penonton sebanyak 5.253.411. Imperfect menjadi film Indonesia peringkat teratas setelah Dilan 1991 dengan total penonton 2.662.356. Di awal tahun 2020, industri perfilman nasional mampu mencapai pertumbuhan tertinggi sepanjang sejarahnya.